23 Mei 2009

Wartawan dan Jurnalisme Sastrawi

Jurnalisme tidak bermula dan tidak berakhir dengan berita. Sikap ingin tahu adalah awalnya dan dasarnya, ibarat sebuah batu pertama yang kemudian berkembang menjadi fondasi sebuah lorong. Kemudian jurnalisme muncul dengan berbagai halangan yang dihadapinya, yang membutuhkan bukan saja ketrampilan dan kecerdikan, tapi juga menjadi agen pemantau regulitas beredarnya informasi. Mencari, menemukan, menulis dan menerbitkan berita itu bagian tugas dari praktik jurnalisme, tapi tidak sampai pada hal itu saja, karena perjalanan dunia jurnalisme ini masih panjang.

Menurut Bill Kovach (2006), tujuan utama dari jurnalisme adalah menyediakan informasi yang akurat dan terpercaya yang dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup bebas dan mengatur dirinya sendiri. Hal ini mencakup tugas yang banyak sekali, misalnya, membantu memperbaiki kelangusngan hidup masyarakat, minciptakan bahasa dan menambah pengetahuan umum, menggambarkan dan menidentifikasi apa yang dicita-citakan masyarakat, menginterpretasikan siapa yang layak menjadi pemimpin. 

Pers, media, wartawan, dan semua dunia jurnalistik mempunyai peranan yang sangat penting. Salah satunya adalah sebagai agen perubahan. Selain itu perkenbangan industri media sendiri pun juga mengalami kemajuan yang sangat cepat. Sejak lengsernya pemerintahan Soeharto, media baik bagi industri jurnalstik maupun wartawan memiliki kebebasan yang lebih bersar dalam memberikan informasi dan berita kepada masyarakat. Pada hari itu, sekitar pertengahan tahu 1998 di kenal sebagai hari lahirnya kebebasan pers di Indonesia. 

Pada masa-masa awal lahirnya kebebasan pers banyak media baru bermunculan. Baik itu media cetak maupun media elektronik. Kemunculan tersebut seperti tak terbendung, hingga media-media elektronik dunia maya pun juga banyak yang lahir. Pada masa ini merupakan masa-masa kebeasan tersendiri bagi wartawan. Wartawan lebih luas mengaktulisasikan informasi dan berita yang didapatnya, yang mana selama ini merasa terbendung oleh tekanan-tekanan dan ancaman dari atas –pemerintah - jika pemberitaan yang ditulisnya menyangkut hal-hal yang lebih kritis. 

Wartawan pun akhirnya mempunyai kebebasan dalam menulis berita, baik teknik dan caranya pun sebagaimana yang wartawan inginkan, tentunya masih dalam konteks di media mana wartawan tersebut bernaung. Namun. Dalam menulis berita pun wartawan jarang yang berpegang tegus pada idealismenya sebagai wartawan. Salah satunya adalah obyektivitas dan tidak memihak. Obyektivitas disini adalah melihat dunia – hal yang ditulis dalam berita- seperti apa adanya, bukan bagaimana yang diharapkan semestinya. Namun, sejalan dengan kemajuan jaman, obyektivitas mempunyai pengertian yang berbeda. Banyak wartawan dalam pekerjaannya kemudian melihat unsur fairness sebagai prinsip yang penting. 

Wartawan harus bisa mengembangkan pengetahuannya secara khusus dalam bidang yang akan dinilai oleh surat kabarnya. Dorongan akan banyaknya surat kabar yang semakin progresif kini adalah menyajikan tulisan yang berdimensi penuh, berbeda dengan yang lain, dimana pembaca bisa mendapatkan keduanya, yaitu catatan yang akurat dari suatu peristiwa serta tambahan informasi yang dapat dipakai untuk memberikan pengertian yang pasti akan sebuah peristiwa dan dengan metode penulisan tertentu. 

Wartawan memang harus membuat tulisannya menarik, tetapi dengan tidak menjuruskan, mewarnai, atau memainkan kata-kata. Berita itu sendiri sebenarnya sudah mempunyai warna. Warna inilah yang harus diangkat ke permukaan, yaitu berupa kedetailan akan informasi. Tugas wartawan adalah merajut benang-benang kehidupan kedalam suatu cerita untuk menambah kebenaran dan karakter pada fakta dan keadaan yang ada, (Luwi: 2005).

Media dalam menyajikan berita, memang tidak harus menganut beberapa aliran jurnalisme di atas. Karena media juga harus memperhatikan karakteristik khalayak sebagai pengonsumsi berita. Namun, kualitas dari isi berita juga merupakan tanggung jawab seorang wartawan. Wartawan yang merupakan tolak punggung utama sebagai pengumpul informasi sebuah media hendaknya mampu menyajikan sebuah berita yang dibutuhkan oleh masyarakat. Wartawan tidak hanya duduk di belakang meja kerja, tapi melainkan wartawan harus terjun langsung kelapangan, berjuang, dan mampu menggali hal-hal yang ekslusif.  

Wartawan harus mempunyai action yang merupakan corak dari kepribadiannya. Wartawan harus mampu menjadi pengamat pertama dari sebuah kejadian atau peristiwa dan menceritakan ulang dalam bentuk tulisan yang sesuai dengan fakta di lapangan. Namun hal ini bertolak belakang dengan eksistensi wartawan dalam penulisan berita dalam surat kabar di Indonesia menjadi nihil. Dalam penulisan berita, misalnya, sering kali karya wartawan tidak dihargai. Identitas wartawan digantikan menjadi kode-kode singkatan yang tidak bermakna di bagian ekor. 

Sebagian media atau surat kabar mempunyai ciri khas tersendiri dalam cara dan teknis penulisan beritanya, hal ini ditujukan untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar. Namun, tingkatan sosial masyarakat pun dapat di gambarkan dengan jenis media atau surat kabar yang dibacanya. Salah satunya adalah harian Surya, berita-berita dan teknik penulisannya akan suatu peristiwa lebih di yellow-kan, misanya berita dengan judul "Gagal Nikahkan Anak, Bakar diri...". Begitu juga dengan harian Memorandum, isi dan nilai berita yang dituliskan lebih di lherr-kan. Hal itu menggambarkan jenis dan macam jurnalisme yang di anut oleh media atau surat kabar tersebut. 

Salah satu aliran jurnalisme yang unik -berbeda dengan yang lain- adalah jurnalisme sastrawi (literary journalism), dimana aliran jurnalisme ini tidak hanya menceritakan sebuah cerita dari peristiwa saja, namun aliran jurnalisme ini lebih menitikberatkan pada sebuah esensi dari berita, yaitu cerita yang mendalam, dengan gaya sastrawi, sehingga pembaca mampu merasakan apa yang ada didalam cerita atau berita tersebut. Pertama kali aliran jurnalisme ini diperkenalkan oleh Tom Wolfe pada tahun 1960-an dengan nama "new journalism" (jurnalisme baru). Dan dalam perkembangannya, aliran jurnalisme ini semakin diminati didalam sebuah media. 

Pada sekitar tahun tahun 1960-an, kemuadian Tom Wolfe yang merupakan seorang wartawan Amerika, memberikan batasan jurnalisme sastrawi pada tahun 1973 dalam antologi berjudul The New Journalism. Maka pada 1973, Wolfe dan EW Johnson menerbitkan antologi dengan judul The New Journalism. Mereka jadi editor. Mereka memasukkan narasi-narasi terkemuka zaman itu. Antara lain dari Hunter S. Thompson, Joan Didion, Truman Capote, Jimmy Breslin, dan Wolfe sendiri. Wolfe dan Johnson menulis kata pengantar. Mereka bilang genre ini berbeda dari reportase sehari-hari karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan (scene by scene construction), reportase yang menyeluruh (immersion reporting), menggunakan sudut pandang orang ketiga (third person point of view), serta penuh dengan detail. . Ia menyebut artikel-artikel itu sebagai "jurnalisme baru" sedangkan para penulisnya "jurnalis baru". 

Tom Wolfe mengatakan ada empat hal yang membuat genre ini berbeda dengan penulisan feature yang biasa dipakai suratkabar Amerika Serikat pada dekade itu. Pertama, ia mengandalkan dialog dan adegan dalam tulisannya. Kedua, teknik reportasenya dikenal dengan teknik immerse reporting di mana reporter seakan-akan menyusup dalam cerita yang sedang dikerjakannya. Ketiga, reportasenya tak sekedar meliput dua pihak tapi multi liputan. Keempat, waktu riset dan wawancara biasanya panjang sekali, bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, agar hasilnya dalam. 

Salah satu contoh, Pantau pernah mempraktikan jurnalisme jenis ini. Namun biaya membengkak karena media ini harus menyediakan halaman yang lebih banyak lagi untuk memuat berita yang di sajikan. Hal ini membuktikan bahwa aliran jurnalisme ini tidak gampang untuk dipraktikan. Dengan banyak dan sulitnya teknik penulisan berita secara sastrawi ini membuat wartawan tidak semuanya bisa mengaplikasikannya. Hanya sebagian wartawan yang mempunyai keahlihan khusus – baik melalu belajar maupun pembinaan – yang bisa menggunakan metode penulisan secara sastrawi. 

Note:

1Lih. Luwi Iswara, Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar (Jakarta:Kompas, 2005) hal 14-17

2 Lih. Ekperimental Jurnalisme Sastrawi di http://www.semestanet.com/2007/09/08/eksperimen-jurnalisme-sastrawi/

3 Lih. Surya Ediri Rabu, 13 Mei 2008.

4 Lih. Andreas Harsono dalam Jurnalisme Sastrawi (Jakarta:Pantau,2008)

5Idem.

6 Lih juga Ekperimental Jurnalisme Sastrawi di http://www.semestanet.com/2007/09/08/eksperimen-jurnalisme-sastrawi/


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar